Gagne menggolongkan pola-pola belajar siswa ke dalam delapan tipe di
mana yang satu merupakan prasyarat bagi yang lainnya yang lebih tinggi
tingkatannya. Masing-masing tipe dapat dibedakan dari yang lainnya dilihat dari
kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya proses belajar bagi yang
bersangkutan. Kedelapan tipe tersebut adalah:
Tipe 1, Signal Learning (belajar isyarat). Tipe ini merupakan tahap yang
paling dasar, sehingga tidak menuntut persyaratan, namun merupakan tingkat yang
harus dilalui untuk tipe belajar yang lebih tinggi. Signal learning dapat
diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat
involuntary (tidak disengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini
terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini telah diberikannya
secara serempak dan berulang kali.
Tipe 2, Stimulus-Respon Learning (belajar rangsangan tanggapan). Bila
tipe di atas dapat digolongkan dalam jenis classical condition, maka tipe
belajar 2 ini termasuk ke dalam instrumental conditioning (Kimble-1961)
atau belajar dengan trial and error. Menurut Gagne, proses
belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi
yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini ialah faktor inforcement.
Waktu antara stimulus (rangsangan) pertama dan berikutnya sangat
penting. Semakin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforcement.
Tipe 3, Chaining (mempertautkan), dan tipe 4 Verbal Association. Kedua tipe belajar ini setaraf, yaitu belajar
mengajar yang menghubungkan satuan ikatan S -R yang satu dengan yang lain.
Kondisi yang diperlukan dalam berlangsungnya tipe belajar ini antara lain
secara internal anak sudah harus menguasai sejumlah satuan pola S-R, baik
psikomotorik maupun verbal. Selain itu, prinsip kesinambungan, pengulangan, dan
reinforcement
tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining dan association.
Tipe 5, Discrination learning (belajar membedakan). Dalam tipe ini, peserta
didik mengadakan seleksi dan pengujian antara dua perangsang atau sejumlah
stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respon yang dianggap
paling sesuai. Kondisi utama dalam berlangsungnya proses belajar ini adalah
siswa rnempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta
pengalaman (pola S-R).
Tipe 6. Concept
Learning (belajar pengertian). Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari
kesimpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau
konsep utama yang diperlukan yaitu menguasai kemahiran diskriminasi dan proses
kognitif fundamental sebelumnya.
Tipe 7, Rule Learning (belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah).
Pada tingkat ini, siswa belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan rnengoperasikan
kaidah-kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sintesis, asosiasi,
diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan
kesimpulan tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai aturan:
prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah dan sebagainya. Kondisi yang memungkinkan
terjadinya proses belajar seperti ini, disarankan:
- Kepada
anak didik diberitahukan bentuk perbuatan yang diharapkan, kalau yang
bersangkutan telah menjalani proses
belajar.
- Kepada
anak didik diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang,mengingatkan (recall) konsep-konsep yang telah
dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkapkan perbendaharaan
pengetahuannya.
- Kepada
anak didik mereka diberikan beberapa kata kunci yang menyarankan siswa ke
arah pembentukan kaidah tertentu yang diharapkan.
- Diberikan
kesempatan kepada anak didik untuk mengekspresikan dan menyatakan kaidah
tersebut dengan kata-katanya sendiri.
- Kepada
anak didik diberikan kesempatan selanjutnya untuk menyusun rumusan rule tersebut dalam bentuk statement formal.
Tipe 8, Problem Solving (belajar memecahkan masalah). Pada tingkat ini,
siswa belajar merumuskan dan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap
rangsangan yang menggambarkan atau nembangkitkan situasi problematik, mempergunakan
berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Menurut John Dewey belajar memecahkan
masalah ini berlangsung sebagai berikut: individu menyadari masalah bila dia
dihadapkan pada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya
kesulitan.
a. Merumuskan dan menegaskan masalah.
Individu melokalisasi letak
sumber kesulitan tersebut untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia
menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip yang
diketahuinya sebagai pegangan.
b. Mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis.
Individu
menghimpun berbagai informasi yang relevan, termasuk pengalaman orang lain
dalam menghadapi pemecahan masalah
yang serupa. Kemudian mengindentifikasi berbagai alternatif (kemungkinan)
pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai jawaban sementara.
c.
Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan. Setiap alternatif pemecahan
ditimbang dari segi untungruginya.
Selanjutnya, dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang
paling mungkin (feasible) dan menguntumgkan.
d.
Mengadakan pengujian alternative pemecahan yang dipilih. Dari hasil pelaksanaan
itu, diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang
telah dirumuskan.
Dengan demikian proses belajar
yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung kalau proses-proses belajar
fundamentalis lainnya telah dimiliki dan dikuasai. Kepada anak didik hendaknya:
a. Diberikan stimulus
(rangsangan) yang dapat menimbulkan situasi bermasalah dalam diri anak didik.
b.
Diberikan kesempatan untuk berlatih mencari alternative pemecahannya.
c.
Diberikan kesempatan untuk berlatih melaksanakanpemecahan dan pembuktiannya.
Dengan proses
pengindentifikasian entering behavior seperti dijelaskan dalam uraian
terdahulu, guru akan dapat mengindentifikasi tahap belajar atau tipe belajar
yang telah dijalaninya. Atas dasar itu, guru dapat memilih alternatif strategi
pengorganisasian bahan dan kegiatan belajar mengajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar